Audi ad Alteram Partem
- wahyu iswantoro sh
- May 20, 2019
- 2 min read
Majalah Mahkamah Agung Edisi XIX Tahun 2019 Halaman 95
Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara perdata terikat pada azas-azas hukum acara perdata. Salah satu azas dalam hukum acara perdata yang paling fundamental dan filosofis adalah “Audi et Alteram Partem” yang artinya Dengarlah juga pihak lain, azas ini berasal dari bahsa latin yang juga sering disebut Audiatur at alters pars. Dalam mewujudkan peradilan yang mengedepankan prinsip imparsialitas dan transparansi, maka hakim wajib menegakkan azas Audi et Alteram Partem untuk memposisikan kedudukan penggugat dan tergugat (para pihak) dalam perkara perdata secara seimbang dan tidak memihak.
Azas Audi et Alteram Partem ditujukan agar hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara perdata memperlakukan sama para pihak yang berperkara. Perlakuan yang sama dapat diwujudkan dengan memberikan kesempatan dalam mengajukan alat-alat bukti atau beban pembuktian (burden of proof), kemudian dalam hal terjadi perubahan gugatan oleh penggugat, maka sebaiknya hakim juga memberikan kesempatan yang sama kepada tergugat untuk merubah jawabanya, dan lain sebagainya. Secara sederhana, Achmad Ali (1983:524) mendefinisikan azas Audi et Alteram Partem dengan azas kedudukan prosesual yang sama dari para pihak yang berperkara perdata.
Dalam praktik penegakan hukum, sering kali dijumpai adanya peradilan yang tidak seimbang dan adanya kecenderungan memihak kepada salah satu pihak yang berperkara, hal tersebut memang tidak lepas dari pengaruh-pengaruh non hukum, antara lain seperti: pola-pola penyelesaian konvensional; penggugat menggunakan jasa advokat sedangkan tergugat tidak; ataupun pelaksanaan pembagian beban pembuktian yang tidak adil dan justru membingungkan. Namun demikian, sejatinya hal tersebut adalah masa lalu citra negatif lembaga peradilan di Indonesia, sebab saat ini Mahkamah Agung telah mengeluarkan beberapa aturan hukum yang menjamin imparsialitas maupun independensi hakim, serta terobosan pelayanan pengadilan yang menggunakan teknologi informasi canggih dan modern.
Dalam menegakkan prinsip imparsialitas yang merupakan turunan dari azas Audi et Alteram Partem, para hakim di dunia pada Tahun 2002 telah berkumpul di Bangalore, India dan bersepakat untuk mencetuskan prinsip-prinsip kode etik kekuasaan kehakiman (The Bangalore Principles of Judicial Conduct), prinsip imparsialitas/Impartiality menempati urutan kedua dari enam nilai dalam kode etik The Bangalore Principles of Judicial Conduct yang menyebutkan bahwa “Impartiality is essential to the proper discharge of the judicial office. It applies not only to the decision itself but also to the process by which the decision is made" yang artinya adalah Ketidakberpihakan sangat penting untuk mengeluarkan putusan pengadilan yang tepat. Ini berlaku tidak hanya pada putusan itu sendiri tetapi juga pada proses pengambilan putusan.
Jaminan penegakan azas Audi et Alteram Partem dengan menekankan prinsip imparsialitas sebenarnya telah diatur juga dalam hukum positif Indonesia, dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Pasal tersebut memberikan jaminan hukum bahwa hakim pada pengadilan dilarang membeda-bedakan orang dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara, baik membedakan dari status, golongan, ras, suku, kedudukan sosial, maupun tingkat ekonomi.
Dengan demikian, guna mewujudkan sistem peradilan yang transparan dan imparsial, serta untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi peradilan, maka hakim dituntut untuk senantiasa menerapkan azas Audi et Alteram Partem dengan konsekwen, sehingga tujuan cita hukum untuk mencapai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum akan dapat tercapai.
WI
Comentarios