top of page
Search

DIGITALISASI PERADILAN PIDANA, Sebuah Upaya Untuk Mejaga Integritas dan Kemandirian Badan Peradilan

  • Writer: wahyu iswantoro sh
    wahyu iswantoro sh
  • Nov 6, 2020
  • 6 min read

Pendahuluan

Perubahan administrasi, layanan, dan proses peradilan di pengadilan dari yang semula secara konvensional menjadi serba otomatis dengan memanfaatkan teknologi informasi merupakan salah satu ciri Negara Hukum yang maju. Modernisasi tersebut akan mewujudkan transparansi dan kredidibilitas lembaga peradilan. Selain itu, hal tersebut juga akan berdampak pada meningkatnya kepercayaan masyarakat pencari keadilan dan pengguna pengadilan terhadap badan peradilan.


Sejalan dengan amanat Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, selanjutnya disingkat “UU Kekuasaan Kehakiman”, disebutkan bahwa Pengadilan berkewajiban membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan. Dalam mewujudkan amanat tersebut, Mahkamah Agung RI, selanjutnya disingkat “MA” dalam Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035 telah menetapkan beberapa target dan tujuan, yang salah satunya adalah mewujudkan peradilan modern berbasis teknologi informasi.


Berbagai upaya mewujudkan peradilan modern berbasis teknologi informasi, selanjutnya disebut “digitalisasi peradilan”, sebenarnya telah berhasil dilakukan oleh MA. Mulai dari Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik (E-Court) sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (“PERMA”) Nomor 3 Tahun 2018, yang kemudian disempurnakan dengan fitur Persidangan Secara Elektronik (E-Litigasi) melalui PERMA Nomor 1 Tahun 2019 sebagai PERMA perubahannya, telah mendigitalisasi alur dan proses pemeriksaan perkara perdata di pengadilan.


Tidak berhenti disitu saja, MA terus menyempurnakan upaya digitalisasi peradilan, meskipun ditengah-tengah kondisi bencana nasional pandemi Covid-19 seperti sekarang ini. MA menjadikan kondisi pandemi sebagai momentum untuk melakukan terobosan dengan menciptakan payung hukum bagi proses persidangan perkara pidana secara elektronik atau E-Litigasi dengan menerbitkan PERMA Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Pidana di Pengadilan Secara Elektronik khusus untuk perkara pidana, pidana militer dan jinayat (“PERMA Nomor 4 Tahun 2020”).


Ruang Lingkup Administrasi dan Persidangan Pidana di Pengadilan Secara Elektronik

Beberapa terobosan luar biasa yang diatur dalam PERMA Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Pidana di Pengadilan Secara Elektronik dapat dirangkum secara garis besar atau berdasarkan poin-poin yang mendasar, antara lain sebagaimana berikut ini.


Pertama, Ruang Sidang Elektronik adalah ruang sidang dipengadilan yang meliputi kantor Kejaksaan, kantor Rutan/Lapas, atau tempat lain yang ditetapkan oleh Hakim/Majelis Hakim (vide Pasal 1 angka 4 PERMA Nomor 4 Tahun 2020). Norma hukum dalam pasal tersebut telah memperluas definisi dari ruang sidang sebagaimana dimaksud dan diatur dalam Pasal 230 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).


Kedua, Domisili Elektronik diartikan sebagai layanan pesan (messaging services) berupa akun yang terverifikasi milik Penyidik, Penuntut, Pengadilan, Terdakwa/Kesatuan Terdakwa, Penasihat Hukum, Saksi, Ahli, Rutan, dan Lapas (vide Pasal 1 angka 9 PERMA Nomor 4 Tahun 2020). Norma hukum dalam pasal tersebut telah memperluas definisi dari domisili hukum atau tempat tinggal atau tempat kediaman sebagaimana dimaksud dan diatur dalam Pasal 145 KUHAP.


Ketiga, Administrasi Perkara secara Elektronik diartikan sebagai proses pelimpahan, penerimaan dan penomoran perkara, penetapan hari sidang, penentuan cara sidang, penyampaian panggilan/pemberitahuan, penyampaian dokumen keberatan, tanggapan atas keberatan, tuntutan, pembelaan, replik, duplik, amar putusan, petikan putusan, pengiriman salinan putusan kepada penuntut dan penyidik secara elektronik (vide Pasal 1 angka 11 PERMA Nomor 4 Tahun 2020). Norma hukum dalam pasal tersebut telah memperluas definisi dari Administrasi Perkara sebagaimana dalam KUHAP.


Keempat, Persidangan secara Elektronik diartikan sebagai serangkaian proses memeriksa, mengadili, dan memutus perkara Terdakwa oleh Pengadilan yang dilaksanakan dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi, audio visual dan sarana elektronik lainnya (vide Pasal 1 angka 12 PERMA Nomor 4 Tahun 2020). Selain itu, dalam keadaan tertentu, baik sejak awal persidangan perkara maupun pada saat persidangan perkara sedang berlangsung, Hakim/Majelis Hakim karena jabatannya atau atas permintaan Penuntut dan/atau Terdakwa atau Penasihat Hukum dapat menetapkan persidangan secara konvensional/tatap muka maupun secara elektronik (vide Pasal 2 ayat (2) PERMA Nomor 4 Tahun 2020). Norma hukum tersebut telah memperluas definisi dari Persidangan sebagaimana dimaksud dan diatur dalam Pasal 64 Jo. Pasal 217 Jo. Pasal 230 KUHAP.


Kelima, Keadaan Tertentu adalah keadaan yang tidak memungkinkan proses pelimpahan perkara, pengadministrasian perkara maupun persidangan dilaksanakan sesuai tata cara dan prosedur yang diatur dalam Hukum Acara karena jarak, bencana alam, wabah penyakit, keadaan lain yang ditentukan oleh pemerintah sebagai keadaan darurat, atau keadaan lain yang menurut majelis hakim dengan penetapan perlu melakukan persidangan secara elektronik (vide Pasal 1 angka 16 PERMA Nomor 4 Tahun 2020).


Dari kelima poin yang mendasar yang diatur dalam PERMA Nomor 4 Tahun 2020, yang menjadi benang merah atau stressing point adalah norma hukum terkait klausul “Keadaan Tertentu”, hal tersebut karena norma hukum “Keadaan Tertentu” menjadi “Klausula Alternatif” dari sebagian besar klausul pasal-pasal dalam PERMA tersebut. Sepertihalnya, apabila menurut KUHAP seluruh rangkaian prosedur dan proses persidangan (dari proses pengadiministrasian, pelimpahan perkara, setiap agenda persidangannya, pengajuan keberatan, tanggapan atas keberatan, tuntutan, pembelaan, replik, duplik, pembacaan putusan serta pengiriman salinan putusan) yang semula dilakukan secara konvensional dapat dirubah menjadi secara elektronik, manakala terjadi suatu keadaan tertentu.

Dengan demikian, apa yang dimaksudkan dalam PERMA Nomor 4 Tahun 2020 adalah sebuah bentuk terobosan payung hukum bagi Hakim dan Aparatur Peradilan untuk tetap dapat melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara secara cepat, tepat, dan efektif meskipun terjadi suatu keadaan tertentu seperti wabah penyakit pandemi Covid-19.


Terobosan yang telah digagas dan diciptakan oleh MA melalui PERMA Nomor 4 Tahun 2020 juga harus dimaknai sebagai langkah cepat dan responsif dari Lembaga Yudikatif untuk mengisi kekosongan hukum yang mengatur terkait hukum acara pidana dalam hal terjadi suatu keadaan tertentu seperti pandemi Covid-19. Hal tersebut senada dengan apa yang dibahas oleh para pakar hukum dalam buku “Emergencies and Limits of Legality”, disana dikatakan bahwa “pandemi bukanlah sebuah keadaan di luar jangkauan hukum, melainkan justru keadaan yang harus disikapi oleh hukum secara cepat, tepat, dan bijak”.


Digitalisasi Peradilan, Sebagai Upaya Untuk Menjaga Integritas dan Kemandirian Badan Perdilan

MA telah berupaya mewujudkan komitmen dan tujuan yang digariskan dalam visi dan misi lembaga, maupun sebagaimana yang dicanangkan dalam Cetak Biru Pembaruan Peradilan Tahun 2010-2035, yakni dengan menciptakan berbagai inovasi dalam bentuk digitalisasi peradilan, termasuk menciptakan payung hukum dalam bentuk PERMA Nomor 4 Tahun 2020. Apabila dikaji sejauh mana hubungan antara upaya digitalisasi peradilan yang didalamnya mencakup modernisasi administrasi, layanan, dan proses peradilan dengan implikasinya terhadap integritas dan kemandirian badan peradilan, maka perlu dipahami bahwa upaya untuk mewujudkan peradilan modern berbasis teknologi informasi adalah cara yang paling tepat dan efektif untuk menghilangkan praktek-praktek percaloan, makelar kasus, korupsi, gratifikasi, dan termasuk intervensi terhadap kemandirian badan peradilan.


Mohammad Noor (2019) dalam artikelnya yang berjudul “Electronic Court, A New Courting Method” mengatakan bahwa perubahan cara dalam pemeriksaan perkara akan mengurangi lamanya waktu pemeriksaan. Perubahan dalam cara berinteraksi akan mencegah pengguna pengadilan datang ke pengadilan. Dan informasi yang disediakan untuk pengguna pengadilan akan mencegah mereka dari kurangnya informasi dan pengetahuan tentang prosedur pengadilan. Oleh sebab itu, pada dasarnya informasi yang lengkap memiliki kontribusi signifikan dalam mendapatkan keadilan.


Sejalan dengan pendapat di atas, Dory Reiling, dalam bukunya yang berjudul, “Technology for Justice, How Information Technology Can Support Judicial Reform” mengkaji terkait solusi terhadap tiga masalah penting yang dihadapi oleh pengadilan di seluruh dunia dan hal tersebut mempengaruhi akses ke pengadilan dan keadilan. Pertama, proses pelayanan di pengadilan terlalu lama; Kedua, pengadilan sulit diakses, dan Ketiga, hakim yang korup. Lebih dari itu, Reiling memberikan sebuah saran bahwa penerapan teknologi informasi akan menguntungkan pengadilan dalam tiga cara, antara lain: 1). Mengubah prosedur untuk pemeriksaan perkara di internal pengadilan; 2). Mengubah cara berinteraksi dengan pengguna pengadilan; dan 3). Menjaga integritas.


Isu-isu yang dikaji dan dibahas oleh Reiling memiliki hubungan yang sama dengan manfaat aplikasi E-Court dan E-Litigasi termasuk yang dikaji dalam artikel ini yakni terobosan payung hukum yang diciptakan MA dalam PERMA Nomor 4 Tahun 2020. Sebab, apa yang diatur dalam PERMA Nomor 4 Tahun 2020 tidak semata-mata sebagai landasan hukum bagi hakim dan aparatur peradilan untuk tetap dapat menjalankan tupoksinya di tengah kondisi pandemi Covid-19, akan tetapi, lebih dari itu juga sebagai payung hukum untuk memutus gerak dan mata rantai praktik jual beli hukuman, praktek suap, dan segala bentuk intervensi dalam penanganan suatu perkara pidana.


Ketua Mahkamah Agung, Yang Mulia Bapak Dr. H. Muhammad Syarifuddin, S.H., M.H., dalam sambutannya pada Acara Pembinaan Teknis dan Administrasi Peradilan bagi Pimpinaan, Hakim dan Aparatur Pengadilan Tingkat Banding dan Tingkat Pertama pada 4 (Empat) Lingkungan Peradilan Se-Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, diikuti pula secara daring oleh Pimpinan, Hakim dan Aparatur Pradilan Tingkat Banding dan Tingkat Pertama pada 4 (empat) Lingkungan Peradilan seluruh Indonesia Tanggal 12 Oktober 2020, menyampaikan bahwa Ia berharap rangkaian penyesuaian dan terobosan dalam hukum acara tersebut tidak hanya kita posisikan sebagai respon reaktif sesaat terhadap situasi pandemi, namun juga selayaknya diletakkan sebagai pernyataan kesiapan Mahkamah Agung menghadapi tantangan di era globalisasi informasi di masa mendatang dalam rangka mewujudkan visi dan misi Mahkamah Agung Republik Indonesia yaitu mewujudkan badan peradilan Indonesia yang agung.

            Digitalisasi peradilan adalah suatu keniscayaan yang harus diwujudkan. Dalam kondisi pandemi seperti saat ini, kita telah dipaksa untuk bertransformasi kedalam dunia yang serba digital. Sebagai masyarakat hukum, kita juga harus belajar dari kondisi pandemi Covid-19 seperti saat ini, agar kita selalu siap apabila kedepan terjadi suatu keadaan tertentu dengan tantangan yang lebih berat dan komplek.

            Upaya digitalisasi peradilan yang dilakukan MA sebenarnya juga telah melewati tahapan perencanaan yang matang dan panjang, oleh karenanya setiap inovasi yang dilahirkan, termasuk penciptaan payung hukum untuk E-Court dan E-Litigasi dalam Perkara Pidana akan tetap memenuhi tujuan dari proses penegakkan hukum itu sendiri, yakni untuk menggapai procedural justice maupun substantive justice. -WI-


Majalah Dandapala, Volume VI/Edisi 37/September-Oktober 2020, Halaman 66-67


 
 
 

Commentaires


Join my mailing list

© 2018 wahyu iswantoro site design by The Book Lover. Proudly created with Wix.com

bottom of page