top of page
Search

Ex Aequo Et Bono

  • Writer: wahyu iswantoro sh
    wahyu iswantoro sh
  • May 19, 2020
  • 3 min read

Dalam upaya mewujudkan putusan yang adil, seorang hakim dibekali dengan sejumlah asas dan prinsip hukum yang harus ia patuhi. Namun demikian, ia harus bijak dan berpikiran luas dalam memahami asasasas tersebut. Seperti halnya, apabila dalam gugatan penggugat mencantumkan petitum subsidair dengan permohonan agar majelis hakim memutus dengan seadil-adilnya. Sesungguhnya di sanalah ranah hakim untuk mempertimbangkan secara matang dan seksama apakah ia mempunyai pertimbangan lain untuk memutus perkara tersebut dengan mengabulkan tuntutan penggugat di luar petitum primair (ex aequo et bono).



Ex aequo et bono berasal dari bahasa Latin yang berarti “menurut keadilan”. Black’s Law Dictiona-ry 557 (6th Edition) mendefinisikan asas ex aequo et bono sebagai “in justice and fairness; according to what is just and good; according to equity and conscience”. Secara sederhana ex aequo et bono dapat diartikan sebagai ruang kebebasan bagi hakim untuk memutus tuntutan penggugat menurut cara pandang hakim sendiri berdasarkan prinsip perlindungan hak asasi manusia dan nilai-nilai keadilan.


Ada kalangan praktisi hukum yang memandang sebelah mata putusan ex aequo et bono karena menganggap putusan seperti itu putusan ultra petita. Mereka hanya melihat putusan tersebut dari sudut pandang yang sempit tanpa membaca secara menyeluruh ratio decidendi putusan ex aequo et bono tersebut. Seperti dikatakan Leon Trakman (2008), "The concept, ex aequo et bono, is often negatively stereotyped, misunderstood, or both. It is supposed that an adjudicator, in deciding according to that which is “fair” and “good” acts “outside of the law” or more pejoratively, “acts notwithstanding the law.”


Putusan ex aequo et bono adalah putusan yang mengedepankan kejelian dan kecermatan hakim dalam menyusun pertimbangan hukum putusannya. Selain itu, juga bentuk dari keberanian hakim untuk keluar dari belenggu pemahaman sempit dalam memaknai asas hakim bersikap pasif dan asas ultra petita. Penerapan asas ex aequo et bono sangat dimungkinkan, sebab hakim dapat bersikap aktif dengan menggunakan pendekatan judicial activism. Ia dapat keluar dari ketentuan hukum yang bersifat kaku, sepanjang dilakukan untuk tujuan perlindungan hak asasi manusia dan perwujudan nilai keadilan.


Apabila hakim harus terkungkung oleh asas ultra petita, berarti ia menjadi corong undang-undang (la bouche de la loi). Padahal hukum tertulis terbatas oleh ruang dan waktu, sedangkan peradaban manusia termasuk di dalamnya dinamika sosial dan hukum selalu berubah setiap saat secara dinamis dan elastis. Secara ex officio, hakim merupakan negative legislator, sebab dalam keadaan tertentu ia harus melakukan penemuan hukum (rechsvinding) dan penciptaan hukum (judge made law), termasuk juga menjatuhkan putusan ex aequo et bono. Hal tersebut dilakukan karena hakim dituntut memenuhi rasa keadilan dalam setiap putusannya.


Di sisi lain, Mahfud MD mengatakan bahwa sesungguhnya putusan yang dijatuhkan di luar petitum primair adalah anugerah dan kemurahan dari seorang hakim kepada pihak yang berperkara. Dengan demikian, putusan ultra petita dalam bingkai ex aequo et bono adalah putusan yang tidak sembarangan dapat dijatuhkan. Dengan kata lain, Hakim hanya akan menjatuhkan putusan ex aequo et bono jika ia benar-benar melihat urgensi perlindungan hak asasi manusia dan pemenuhan rasa keadilan dalam perkara yang ditanganinya.


Peradilan Indonesia sebenarnya sudah tidak asing dengan putusan hakim yang menerapkan menerapkan asas ex aequo et bono. Sebagai contoh pada 2008 silam, putusan fenomenal majelis hakim PN Jakarta Pusat menolak tuntutan dalam petitum primair, dan justru memutus sendiri dengan dasar asas ex aequo et bono. Yakni, memutuskan hak pedagang Pasar Tanah Abang untuk mendapatkan prioritas membeli kios. Sebab, majelis hakim menilai para pedagang adalah pemilik sah dari kios yang dibongkar oleh Pemda, sehingga tetap berhak mendapatkan ruko semula. Pada kasus lain, majelis hakim kasasi yang dipimpin oleh Mantan Ketua Mahkamah Agung RI Harifin A. Tumpa mengabulkan gugatan rekonvensi Sukri Cs atas dasar ex aequo et bono dalam putusan nomor 2345 K/Pdt/2008.


Tantangan ke depan adalah bagaimana agar hakim yang memiliki 2 kewenangan sekaligus, yakni kewenangan yudisial (eksplisit) dan kewenangan negatif legislator (implisit), dapat terus mengawal semangat pembaruan hukum dengan tetap mengedepankan profesionalitas dan independensinya dalam memutus setiap perkara yang ditanganinya. Profesional dalam arti terus belajar untuk memahami hukum secara luas dan progresif, serta independen dalam arti memutus perkara tanpa terpengaruh oleh segala bentuk intervensi maupun doktrinasi atas dikotomi sistem hukum. (WI)


Majalah Mahkamah Agung, Edisi XXII/2020, Mei 2020, Halaman 97-98



 
 
 

Comments


Join my mailing list

© 2018 wahyu iswantoro site design by The Book Lover. Proudly created with Wix.com

bottom of page