In Dubio Pro Reo
- wahyu iswantoro sh
- Sep 23, 2020
- 3 min read
Lebih baik membebaskan 1000 (seribu) orang yang bersalah, daripada menghukum 1 (satu) orang yang tidak bersalah. Pemeo tersebut mengambarkan pentingnya prinsip kehati-hatian (prudent) dan keyakinan hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana yang ditanganinya, agar tidak sampai salah dalam menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap seorang terdakwa yang sebenarnya tidak bersalah. Achmad Ali (2002:318) menyatakan, bahwa penghukuman terhadap terdakwa yang tidak bersalah dapat dikategorikan sebagai cold blooded execution (eksekusi berdarah dingin). Keyakinan hakim merupakan hal yang esensial dalam hukum acara pidana. Hakim harus benar-benar yakin bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana, yang dalam teori hukum pidana dikenal dengan istilah beyond reasonable doubt (alasan yang tak dapat diragukan lagi).
Hakim harus memperoleh keyakinan yang utuh dan terbebas dari keraguan dalam membuktikan apakah berdasarkan alat bukti yang diajukan benar-benar telah terjadi suatu tindak pidana, serta terdakwalah yang bersalah melakukan suatu tindak pidana sebagaimana dakwaan penuntut umum. Hal tersebut karena hakim secara tidak langsung terikat oleh asas “in dubio pro reo”. Asas tersebut berasal dari bahasa Latin, yang padanan dalam bahasa Inggris berbunyi “When in doubt, for the accused” yang artinya “dalam hal keragu-raguan, diputus yang menguntungkan terdakwa”. Asas in dubio pro reo pertama kali ditemukan dalam risalah seorang Ahli Hukum dari Milan yang bernama Egidio Bossi (1487-1546). Asas tersebut merupakan bagian dari intepretasi Hukum Romawi yang dilakukan oleh Aristoteles. Secara sederhana penulis mengartikan “in dubio pro reo” sebagai berikut: “jika ada keraguan mengenai suatu hal, hakim memutus dengan hal yang meringankan terdakwa, dengan kata lain jika hakim ragu-ragu, maka hakim dapat membebaskan terdakwa dari dakwaan”.
Norma hukum dari asas in dubio pro reo dapat dirangkum dalam dua poin sebagai berikut: Pertama, hakim tidak boleh ragu dalam menjatuhkan putusan pidana. Kedua, hakim dilarang menjatuhkan putusan pidana tanpa didasari keyakinan yang utuh dan minimal dua alat bukti yang sah. Sedangkan, aturan hukum tertulis yang dapat dipadankan sebagai turunan dari asas in dubio pro reo adalah Pasal 183 KUHAP, dalam pasal tersebut disebutkan bahwa: “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Dalam implementasinya dilapangan hakim selalu dihadapkan pada persoalan untuk menguji apakah alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan memang benar adanya, dan memiliki hubungan yang saling terkait dengan perbuatan pidana yang dituduhkan terhadap terdakwa. Kemudian, dalam usaha mencari kebenaran materiil, hakim juga dituntut untuk mampu berfikir objektif, dan terbebas dari kerangka berfikir penyidik maupun penuntut umum atas hasil pemeriksaan pendahuluan dalam tingkat penyidikan dan penuntutan.
Lebih dari itu, hakim harus mampu menyelami suatu peristiwa pidana konkrit seperti yang didakwakan kepada terdakwa, hal tersebut ditujukan untuk mendapatkan keyakinan utuh dari hati nuraninya sehingga intuisinya akan mengatakan bahwa terdakwa yang diajukan kemuka pengadilan adalah benar-benar terdakwa yang sesungguhnya, dengan kata lain bukan terdakwa pengganti ataupun terdakwa yang menjadi korban dari konspirasi hukum.
Mahkamah Agung dalam Putusan Tingkat Kasasi Nomor 33 K/MIL/2009 pernah menerapkan asas in dubio pro reo dalam pertimbangan hukumnya, disana dikatakan bahwa: “apabila ada keraguan mengenai apakah terdakwa bersalah atau tidak, maka sebaiknya diberikan hal yang menguntungkan terdakwa yaitu dibebaskan dari dakwaan”. Semenjak putusan MA tersebut, penerapan asas in dubio pro reo dimasa sekarang menjadi semakin jarang ditemui, sebab hakim dalam melakukan proses pembuktian perkara pidana dapat menggunakan kewenangannya untuk melakukan penemuan hukum (interpretasi atau konstruksi hukum). Hal tersebut menjadikan peluang hakim untuk tidak yakin atau ragu-ragu terhadap suatu hal terkait dakwaan yang dituduhkan kepada terdakwa semakin kecil, sebab hakim akan mampu mendudukan setiap perkara pidana konkret secara objektif.
Namun demikian, menurut hemat penulis, sebagai Wakil Tuhan di dunia hakim juga manusia biasa yang terkadang juga memiliki perasaan ragu-ragu atas sesuatu hal. Oleh sebab itu, adakalanya asas in dubio pro reo tetap dapat diterapkan secara kasuistis apabila setelah melalui usaha mencari kebenaran materiil hakim tidak juga mendapat keyakinan, maka dengan berpedoman pada asas tersebut hakim dapat membebaskan terdakwa dari dakwaan penuntut umum. Hal tersebut tentu harus dilakukan semata-mata untuk melindungi hak asasi manusia bagi diri terdakwa dan pemenuhan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) sehingga putusan yang hendak dijatuhkan oleh hakim akan memenuhi asas kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum. (WI)
Majalah Mahkamah Agung, Edisi XXIII/2020, September 2020, Halaman 98-99
댓글