Indepedensi Hakim Dalam Menangani Perkara Pemilu 2019
- wahyu iswantoro sh
- May 20, 2019
- 3 min read
Majalah Mahkamah Agung Edisi XIX Tahun 2019 - Halaman 59-60
Sebuah kasus dugaan tindak pidana pemilu yang terjadi di Kabupaten Semarang, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Ungaran dalam perkara pidana khusus nomor 227/Pid.Sus/2018/PN Unr yang memeriksa, mengadili perkara terhadap Terdakwa I, Siti Ambar Fatonah dan Terdakwa II, Sarwono, yang didakwa oleh jaksa penuntut umum dengan Pasal 521 UU Pemilu karena diduga melakukan money politic pada suatu kegiatan yang dapat dikatakan kampanye sebagai calon anggota legislatif.
Setelah melalui proses pemeriksaan dalam persidangan, dan didasarkan pada fakta-fakta persidangan, alat bukti, keterangan saksi-saksi, ahli, maka majelis hakim memutus perkara tersebut dengan amar putusan yang menyatakan para terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging) serta memulihkan hak dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.
Terhadap kasus di atas mungkin masyarakat umum dan kalangan pers pasti akan bertanya-tanya tentang apakah independensi hakim yang memeriksa perkara tersebut telah diintervensi oleh pihak-pihak yang bekepentingan, akan tetapi kalangan praktisi hukum yang memahami bagaimana proses penegakan hukum dan memahami bagaimana cara membaca dasar pertimbangan hakim dalam putusanya, akan dapat melihat dengan jelas bahwa majelis hakim dalam perkara a quo justru telah mengimplementasikan independensinya sebagai hakim yang memeriksa dan mengadili perkara dengan menjunjung tinggi integritas, dan profesionalitasnya, serta memutus berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukumnya yang didasarkan pada alat-alat bukti dan keyakinan hakim, tanpa terpengaruh oleh tekanan, baik dari internal maupun dari eksternal seperti tekanan kekuasaan eksekutif, legislative, ataupun tekanan opini masyarakat dan jurnalis.
Kasus di atas hanya salah satu contoh. Sangat mungkin, berbagai kasus akan muncul setelah pengumuman hasil pemilu, 22 Mei 2019.
Hubungan antara integritas hakim dengan Pemilu baru terlihat apabila terjadi tindak pidana pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Pada saat penuntut umum melimpahkan perkara dugaan tindak pidana pemilu ke muka Pengadilan untuk diperiksa dan diadili, maka disitulah integritas dan independensi hakim yang sebenarnya akan diuji.
Tidak dipungkiri, secara harfiah setiap hakim yang juga manusia biasa tentu mempunyai sikap, naluri dan arah politik masing-masing, serta dimungkinkan juga seorang hakim yang memeriksa perkara tindak pidana pemilu memiliki hubungan emosional, baik secara langsung ataupun tidak langsung terhadap salah satu calon kontestan pemilu atau sebagai simpatisan salah satu partai politik peserta pemilu.
Namun demikian, semua itu tentu tidak akan dilakukan oleh para hakim, sebab hal tersebut jelas akan bertentangan dengan sikap batin setiap hakim sebagai pejabat negara sekaligus pilar yudisial yang tunduk pada kode etik dan pedoman perilaku hakim.
Menjawab ujian independensi hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara pemilu, sebenarnya Mahkamah Agung tidak tinggal diam begitu saja, sebab melalui Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum, telah mengeluarkan Surat Edaran Dirjen Badilum Nomor 2 Tahun 2019 tentang Larangan Hakim Berpolitik, yang isinya adalah himbauan agar: hakim harus bersikap imparsial dan independen; hakim dilarang melakukan perbuatan yang mengarah pada keberpihakan pada salah satu calon; hakim dilarang mengunggah, menanggapi (seperti like, komentar, dan sejenisnya) atau menyebarluaskan gambar/foto bakal calon, visi-misi, mengeluarkan pendapat yang menunjukan keberpihakan pada salah satu calon; hakim dilarang berfoto dengan calon. Hal tersebut tentunya mempunyai tujuan mulia, yaitu untuk menjaga marwah dan kemandirian Hakim dan Mahkamah Agung beserta badan peradilan yang berada dibawahnya.
Lebih dari itu, Mahkamah Agung melalui Dirjen Badilum juga telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2019 tentang Pembangunan Zona Integritas pada Seluruh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum. Edaran tersebut pada intinya memberikan instruksi agar seluruh pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dapat mengimplementasikan pembangunan integritas hakim dan seluruh sumber daya aparatur peradilan dengan membuat dan menandatangi pakta integritas. Selain itu, pembangunan integritas juga sejalan dengan tujuan untuk mewujudkan Wilayah Bebas Korupsi (WBK) serta Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) pada setiap pengadilan.
Dengan demikian, hakikat independensi harus dapat diwujudkan oleh hakim dengan mengeluarkan produk putusan yang menceeminkan nilai-nilai keadilan, yakni adil dimata hukum (legal justice) dan juga adil yang dapat diterima ditengah-tengah masyarakat (socio justice). Perlunya pendalaman filsafat kebebasan hakim sebagai upaya untuk pembinaan terhadap hakim agar lebih memahami hakikat dan filofosi dari independensi itu sendiri. Selain itu, batasan independensi hakim bukan dimaksudkan untuk mengintervensi atau menghilangkan kebebasan hakim, akan tetapi untuk mengawal dan membentengi kebebasan hakim dari perbuatan kesewenang-wenangan atau tirani peradilan.
WI
Comentarios