top of page
Search

IURA NOVIT CURIA

  • Writer: wahyu iswantoro sh
    wahyu iswantoro sh
  • Oct 1, 2018
  • 2 min read

Majalah Mahkamah Agung RI Edisi XVII Tahun 2018, Hal 96, Sebagai Negara dengan sistem hukum civil law atau statue law system, maka sumber hukum utama yang berlaku dan menjadi dasar penegakan hukum di Indonesia adalah hukum positif dalam bentuk kodifikasi. Namun demikian, hukum positif akan selalu berubah dan diperbaharui mengikuti perkembangan serta dinamika hukum yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Dalam kondisi mendesak, apabila terdapat suatu perkara yang diajukan ke muka pengadilan dan hukum positif belum mengatur tentang dasar hukum untuk mengadili perkara tersebut, maka hakim sebagai perwujudan pilar yudikatif yang dianggap tau hukum dapat mencari dan menemukan hukum (rechtsvinding) serta menciptakan norma hukum (judge made law).


Istilah hakim dianggap tau hukum atau lebih dikenal dengan adegium "Iura Novit Curia/Ius Curia Novit/Curia Novit Jus” yang dalam terminologi bahasa inggris juga disebut court knows the law, pertama kali ditemukan oleh para ahli hukum abad pertengahan (legal glossators) dalam tulisan-tulisan tentang hukum Romawi kuno, yang hal tersebut diartikan sebagai kewenangan hakim untuk mencari dan menetapkan suatu hukum, karena hukum tertulis yang dikodifikasikan pada dasarnya tidak akan pernah lengkap, atau dengan kata lain hukum pasti berubah mengikuti perkembangan zaman.


Apabila seorang hakim dianggap tau hukum, maka hakim dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas (vide Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Sejarah hukum di Indonesia mencatat bahwa prinsip Iura Novit Curia telah lama menjadi prinsip bagi pengadilan atau hakim untuk dilarang menolak perkara dengan dalih hukumnya tidak diatur atau tidak lengkap, hal tersebut sebagaimana dalam Pasal 22 Algemene Bepalingen Van Wetgeving Voor Indonesie atau Peraturan Umum Mengenai Perundang-undangan untuk Indonesia, yang menyatakan bahwa hakim yang menolak mengadili suatu perkara dapat dipidana. Lebih lanjut, dalam Pasal 859 Rv menyatakan bahwa hakim yang menolak untuk memberikan penetapan atas suatu permohonan atau putusan atas suatu perkara, maka pihak yang berkepentingan dapat mengajukan aduan.


Thomas Rowlandson dan Augustus Pugin di dalam Ackermanns Microcosm of London (1808) menyatakan bahwa "In both common law and civil law legal systems, courts are the central means for dispute resolution, and it is generally understood that all persons have an ability to bring their claims before a court. Similarly, the rights of those accused of a crime include the right to present a defense before a court.”

Menjadi sebuah kewajiban bagi seorang hakim untuk mengetahui dan memahami semua hukum positif, meskipun pada dasarnya seorang hakim tidak mungkin dapat memahami semua hukum yang berlaku di Indonesia.


Berbeda memang dengan di Negara Inggris (United Kingdom), dalam sistem peradilan yang dianut di United Kingdom, peradilan dibagi berdasarkan beberapa bidang yakni peradilan perdata, peradilan pidana, dan peradilan ringan sehingga masing-masing peradilan diisi oleh hakim dengan kemampuan khusus sesuai bidang keahlian hukumnya. Oleh karena itu profesionalitas dan capabilitas penguasaan serta pengetahuan hukum tiap-tiap hakim sangat mendalam dan bahkan dapat dikatakan expert.


Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai rumah bagi para hakim perlu terus menggembangkan inovasi dan terobosan dalam sistem pendidikan lanjutan profesi hakim dengan memberikan pelatihan teknis peradilan atau sertifikasi sesuai dengan keahlian hukum yang diminati oleh masing-masing hakim, sehingga hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara benar-benar tau dan paham akan hukum yang menjadi dasar dalam suatu perkara yang ditanganinya.



WI


 
 
 

Comments


Join my mailing list

© 2018 wahyu iswantoro site design by The Book Lover. Proudly created with Wix.com

bottom of page