top of page
Search
  • Writer's picturewahyu iswantoro sh

Judicial Activism

Law is not justice. Law Just a tool to get there (section 375). Dari penggalan dialog dalam karya seni film tentang hukum tersebut dapat ditarik suatu pengertian bahwa hukum bukanlah keadilan, hukum hanya sarana atau alat untuk mencapai keadilan. Lantas, bagaimana jika hukum positif yang dibuat oleh legislator ternyata belum mencerminkan unsur-unsur keadilan didalamnya. Kemudian, bagaimana jika hukum tersebut pada akhirnya justru tidak memanusiakan manusia, serta bagaimana pula jika hakim belum mampu menegakan hukum dengan seadil-adilnya.



Menjawab kerisauan tersebut, maka perlu diingat kembali bahwa hakikat hukum itu sendiri adalah aturan-aturan tertulis yang baru akan mempunyai kekuatan mengikat dan menghukum manakala amar putusan hakim telah diucapkan dalam suatu sidang terbuka untuk umum. Hukum akan menghadirkan rasa keadilan apabila aparat penegak hukumnya menempatkan hukum secara terhormat, yakni dengan tidak membawa dan memanfaatkan hukum sebagai tunggangan kepentingan (Frederic Bastiat, dalam Bakhrul Amal, 2019).


Dilema negara hukum terjadi manakala perkembangan dan dinamika hukum ditengah-tengah masyarakat bergerak dan berkembang lebih cepat dari undang-undang sebagai hukum tertulisnya, dengan kata lain hukum positif telah kadaluarsa (expired laws). Undang-undang tidak selalu lengkap untuk memecahkan kasus hukum secara konkrit, karena undang-undang hanya merupakan satu tahap dalam proses pembentukan hukum, sehingga secara empiris Hakim harus melengkapinya dengan pemecahan dan mencari solusi untuk putusannya (Modul Diklat 3 PPC Terpadu Peradilan Umum, 2019:4).


Jalan keluar yang dapat diterapkan untuk mengatasi problematika hukum positif yang telah kadaluarsa (expired laws) adalah dengan memaksimalkan pendekatan ”Judicial Activism” yang dalam Bahasa Indonesia berarti ”keaktifan hakim” atau ”keaktifan peradilan”. Bryan A. Garner dan Henry Campbell Black dalam Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, 2004 mengartikan judicial activism sebagai “A philosophy of judicial decision-making whereby judges allow their personal views about public policy, among other factors, to guide their decisions, usu. with the suggestion that adherents of this philosophy tend to find constitutional violations and are willing to ignore precedent”.


Secara sederhana penulis mengartikan judicial activism sebagai keaktifan hakim dalam menggunakan metode penemuan hukum dan interpretasi hukum untuk menjawab isu-isu hukum konkrit yang dalam hukum positif belum diatur atau telah ada aturanya tetapi sudah tidak dapat diterapkan lagi dalam masa sekarang, sehingga melalui pertimbangan hukumnya, hakim dapat memberikan nilai-nilai keadilan dan perlindungan terhadap hak azasi manusia.



Dalam implementasinya dilapangan masih banyak hakim yang terkungkung oleh paradigma dan asas hakim berikap pasif dalam menangani perkara perdata. Padahal, dalam hukum acara perdata hakim tidak semata-mata harus bersikap pasif, melainkan dalam hal-hal tertentu dimungkinkan bahkan diwajibkan untuk bersikap aktif. Sifat pasif dalam sistem HIR/RBG hanya terbatas dalam makna bahwa hakim tidak dapat menentukan luasnya sengeketa dan hakim tidak boleh menambah atau mengurangi luas dan pokok sengeketanya.


Selain dari apa yang dimaksud dalam pengertian asas hakim bersikap pasif, maka hakim dapat bersikap aktif, sepertihalnya Hakim atas inisiatifnya sendiri dapat menghadirkan Ahli dimuka persidangan, kemudian apabila dipandang perlu dapat pula melakukan pemeriksaan setempat (plaats onderzoek) dilokasi objek sengketa, serta Hakim juga harus aktif untuk memberitahukan hak-hak para pihak untuk mengajukan upaya hukum atas putusan yang telah dibacakan, dsb. (Sunarto dalam bukunya “Peran Aktif Hakim dalam Perkara Perdata”, 2014:xv,36).


Penerapan judicial activism dalam perkara yang proses pembuktianya lebih sulit, seperti perkara lingkungan hidup, pertambangan, dan sejenisnya yang biasanya membawa dampak kerugian bagi masyarakat akibat pencemaran lingkungan hidup sangat diperlukan keaktifan hakim agar aturan hukum dalam undang-undang yang belum mengakomodir nilai-nilai keadilan dan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara tersebut akan terlindungi dan terpenuhi melalui penerapan judicial activism dalam ratio decidendi putusan hakim.


Peran aktif hakim dalam bingkai wawasan hukum masa kini maupun dalam ius constituendum harus menjadi pandangan hukum utama yang digunakan hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang ditanganinya, sebab hal tersebut sudah sejalan dengan amanat Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman, yang telah membebankan peran aktif hakim untuk membantu para pencari keadilan dan berusaha untuk mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan. (WI)


Majalah Mahkamah Agung, Edisi XXI/2019, Desember 2019, Halaman 95-96

207 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page