top of page
Search

PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM DAN IMPLIKASI TERHADAP PERKEMBANGAN PRAPERADILAN

  • Writer: wahyu iswantoro sh
    wahyu iswantoro sh
  • Oct 1, 2018
  • 5 min read


TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Dari sudut pandang sebagian kalangan hakim, mungkin hakim praperadilan dalam Putusan Nomor 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel dapat dikatakan sebagai sosok yang sangat berani dan progresif, sebab melalui penemuan hukumnya, ia telah menciptakan norma hukum baru diluar ketentuan Pasal 1 angka 10 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan menyatakan penetapan tersangka sebagai bagian dari objek praperadilan. Namun berbeda dari sudut pandang sebagian besar tersangka yang menganggap sosok hakim praperadilan tersebut sebagai sosok pahlawan keadilan, karena melalui ketukan palunya tercipta sarana dan upaya untuk lepas dari labelisasi status tersangka oleh penyidik dengan menguji keabsahannya melalui permohonan praperadilan pada pengdilan negeri.


Hakim sebagai aktor penegak hukum dan keadilan serta perwujudan pilar yudikatif dibekali dengan kewenangan istimewa untuk dapat menciptakan norma hukum (judge made law) melalui mekanisme penemuan hukum (recht finding) dengan dasar sebagaimana tersirat dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman). Kewenangan untuk dapat menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat tentu harus disertai dengan pola berfikir yang progresif, kecerdasan spiritual, serta intuisi hakim dalam menyelesaikan setiap perkara yang diadilinya. Sebab, penemuan hukum dalam putusan praperadilan menjadi yurisprudensi yang tidak menutup kemungkinan dijadikan preseden oleh hakim-hakim selanjutnya.


Penemuan Hukum (Recht Finding)

Hakim harus mampu mengikuti perkembangan nilai-nilai hukum yang berkembang di dalam masyarakat, sebab seringkali dinamika yang muncul dimasyarakat jauh lebih cepat berkembang dari tatanan hukumnya sendiri. Beberapa perkara yang diajukan ke pengadilan diantaranya terdapat perkara yang aturan hukumnya sendiri tidak ada atau telah out of date. Oleh karena itu, hakim dilarang menolak  untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas (vide Pasal 10 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman).

Hakim dengan kewenangannya harus mampu menetapkan hukum yang semula hukumnya tidak ada menjadi ada, hal itu dilakukan dengan menggunakan metode penemuan hukum yang jika dikaji secara ilmiah (keilmuan) dan secara yuridis maupun teoritis harus dapat dipertanggungjawabkan. Soejono Koesoemo Sisworo mengatakan bahwa hakikat penemuan hukum, yaitu selalu berkaitan dengan situasi dan kondisi masyarakat dan tetap dalam lingkungan sistem hukumnya.


Ratio Decidenci atau alasan-alasan hukum hakim dalam melakukan penemuan hukum harus sangat tepat. Idealnya dalam mengambil putusan terhadap suatu perkara, hakim mempertimbangkan 4 (empat) elemen, yaitu aspek filosofis, asas-asas hukum, aturan hukum positif dan budaya masyarakat hukum. Keempat elemen tersebut dimasukan secara proporsional dalam proses pengambilan putusan hukum (Dedy Muchti Nugroho, Dandapala Vol. IV Edisi 1, 2018, hlm 65).


Penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim harus mampu menangkap keadilan hukum (legal justice) dan keadilan masyarakat (social justice), sebab apabila penemuan hukum dilakukan dengan dalih bahwa hukum normatif telah gagal meciptakan rasa keadilan, maka penemuan hukum tersebut harus bebas dari unsur kepentingan-kepentingan non hukum. Disisi lain, penemuan hukum merupakan upaya rule breaking atau keluar dari aturan normatif yang kadang kala diasumsikan sebagai aliran hukum progresif dan sociological jurisprudence yang mendegradasi aspek kepastian hukum (legal certainty).


Implikasi Perkembangan Praperadilan

Keberadaan pranata praperadilan adalah sebagai bentuk pengawasan dan mekanisme keberatan terhadap proses penegakan hukum yang terkait erat dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia, sehingga pada zamanya aturan tentang praperadilan dianggap sebagai bagian dari mahakarya KUHAP. Namun demikian, dalam perjalanannya ternyata lembaga praperadilan tidak dapat berfungsi secara maksimal karena tidak mampu menjawab permasalahan yang ada dalam proses pra-ajudikasi. Fungsi pengawasan yang diperankan pranata praperadilan hanya bersifat post facto sehingga tidak sampai pada penyidikan dan pengujiannya hanya bersifat formal yang mengedepankan unsur objektif, sedangkan unsur subjektif tidak dapat diawasi pengadilan. Hal itu justru menyebabkan praperadilan terjebak hanya pada hal-hal yang bersifat formal dan sebatas masalah, sehingga jauh dari hakikat keberadaan pranata praperadilan (Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, paragraph 3.16 angka 1 huruf a, hlm 104).


Berkaca pada tuntutan perkembangan hukum, saat ini objek praperadilan telah mengalami perkembangan dari sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo Pasal 77 KUHAP. Mulai dari penemuan hukum oleh hakim praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam Putusan Nomor 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel (Penetapan Tersangka sebagai obyek Praperadilan), kemudian ternyata menjadi preseden bagi beberapa putusan praperadilan berikutnya, bahkan dalam ranah uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK), telah ada beberapa Putusan MK yang menciptakan norma hukum baru yang memperluas objek serta ruang lingkup praperadilan, antara lain sebagai berikut:

  1. Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 (Penetapan Tersangka, sah atau tidaknya penggeledahan dan penyitaan sebagai obyek Praperadilan);

  2. Putusan MK Nomor 102/PUU-XIII/2015 (Ketentuan Gugurnya Permohonan Praperadilan);

  3. Putusan MK Nomor 109/PUU-XIII/2015 (Pembatasan Ruang Lingkup Hukum Materil Praperadilan);

  4. Putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015 (Ketentuan Penyerahan SPDP);

Lebih lanjut, selain karena adanya putusan-putusan MK di atas, penemuan hukum oleh hakim praperadilan yang sebelumnya ternyata dijadikan preseden dan yurisprundensi oleh hakim pada Pengadilan Negeri Ende, dalam Putusan Nomor 02/Pid.Prap/2018/PN.End yang pada intinya menyatakan bahwa “Pengehentian Penyelidikan sebagai objek dari Praperadilan, karena penyelidikan merupakan kesatuan rangkaian dengan tindakan Penyidikan”. Dengan demikian telah terjadi lagi perluasan ruang lingkup dan objek praperadilan karena penemuan hukum oleh hakim dalam putusannya.


Apabila dianalisis lebih lanjut, penemuan hukum dalam Putusan Nomor 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel. maupun Putusan Nomor 02/Pid.Prap/2018/PN.End terlihat bahwa telah terjadi pergeseran aliran hukum yang dianut oleh hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. Meskipun Indonesia menganut sistem hukum tertulis (civil law system), akan tetapi fakta menunjukan bahwa Doctrine of Precedent atau dalam bahasa latinnya disebut Stare Decicis telah masuk dalam pertimbangan dan ratio decidenci hakim dalam melakukan penemuan hukumnya, padahal aliran doktrin hukum tersebut adalah manifestasi metodologis dari lahirnya yurisprudensi, yang merupakan sumber hukum dalam sistem hukum Common Law.


Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, yang dalam amar putusannya menyatakan bahwa “Pasal 77 huruf A KUHAP tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan”. Dari norma hukum baru yang diciptakan oleh MK, maka timbul permasalahan terkait bagaimanakah kedudukan putusan MK tersebut dalam hirarki sumber hukum formil, mengingat pada hakikatnya, MK tidak memiliki kewenangan untuk menciptakan norma hukum baru.


Saldi Isra mengemukakan bahwa MK sebagai negative legislator yakni lembaga peradilan yang berwenang membatalkan suatu undang-undang atau menyatakan suatu undang-undang tidak mengikat secara hukum. Dengan demikian, seharusnya MK tidak menciptakan suatu norma hukum baru dengan menyatakan penetapan tersangka sebagai bagian dari objek praperadilan, karena hal tersebut diluar wewenang yang dimiliki MK. Apa yang dilakukan MK tersebut justru menjadikan MK berfungsi sebagai “Positive Legislator” sepertihalnya fungsi yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).


Konklusi

Disadari atau tidak, penemuan hukum oleh hakim tentu menimbulkan implikasi dan pengaruh terhadap tatanan hukum yang telah ada (ius contuitutum). Begitupula hasil penemuan hukum oleh hakim yang memperluas objek dan ruang lingkup praperadilan, yang kemudian dalam praktiknya telah menjadi yurisprudensi serta Doctrine of Precedent bagi hakim-hakim selanjutnya dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara.


Upaya progresif hakim dalam melakukan penemuan hukum harus diimbangi dengan pendidikan kesadaran hukum dimasyarakat. Sebab sering kali judex factie melakukan penemuan hukum dan menciptakan norma hukum baru diluar ketentuan Undang-undang yang haltersebut justru dapat memicu perdebatan dalam masyarakat umum maupun di dalam kalangan ahli hukum dan para praktisi hukum.


Aspek kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan harus mampu diwujudkan secara berimbang oleh hakim dalam penemuan hukumnya. Terlepas dari perdebatan dalam menyikapi implikasi dari penemuan hukum oleh hakim, Pemerintah harus mengambil sisi positifnya sebagai bahan pembaharuan hukum dalam Ius Constituendum.


WI


Lebih lengkap silahkan cek di:

 
 
 

Comments


Join my mailing list

© 2018 wahyu iswantoro site design by The Book Lover. Proudly created with Wix.com

bottom of page