URGENSI PEMENUHAN JAMINAN KEPASTIAN HUKUM DAN PERLINDUNGAN HAK-HAK INVESTOR MINORITAS
- wahyu iswantoro sh
- Jul 27, 2018
- 4 min read
Updated: Aug 31, 2018
Florespost.co, Ende, Flores, NTT - 28 Juli 2018
Politik Hukum Undang-undang Perseroan Terbatas
Konsep Negara hukum secara umum, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum. Setiap proses penegakan hukum harus dilandaskan pada kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, termasuk didalamnya hak ekonomi. Negara memberikan pranata hukum untuk menjamin kepastian hukum bagi warga negaranya dalam melakukan kegiatan usaha dengan Undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Politik pembentukan UUPT adalah untuk menciptakan pembangunan perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi yang berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu hal yang diatur dalam UUPT adalah mengenai penyelenggaraan RUPS. Dengan adanya pengaturan RUPS tersebut diharapkan penyelenggaraan RUPS dapat memenuhi kebutuhan masyarakat agar lebih memberikan kepastian hukum kepada dunia usaha.
Idealnya, setiap langkah dan kebijakan suatu perusahaan yang akan diambil harus melewati keputusan RUPS sebagai alat perlengkapan dan merupakan kekuasaan tertinggi dalam perseroan. Namun demikian, keputusan mayoritas RUPS (majority rule) tidak selalu sesuai harapan dari pemegang saham/investor minoritas yang memiliki persentase kecil saham dalam suatu perseroan, dan dengan prinsip one share one vote, maka investor minoritas setidaknya masih memiliki hak untuk ikut bersuara dan memilih. Titik singgung antara UUPT dengan kegiatan investasi dalam pasar modal terletak pada badan hukum atau badan usahanya, sebab investasi dalam pasar modal dilakukan melalui pembelian saham salah satu perseroan terbuka atau emiten yang terdaftar dalam bursa efek, karenanya kegiatan investasi oleh investor dalam pasar modal wajib tunduk pula dengan ketentuan yang diatur dalam UUPT.
Perangkat hukum di Indonesia telah berusaha untuk melindungi pemegang saham minoritas melalui pre-emptve right. Hal ini tercermin pada Pasal 43 UUPT, dimana pemegang saham mempunyai hak penawaran terlebih dahulu atas penambahan modal baru. Kemudian, Pasal 61 UUPT terkait mekanisme hak menggugat perseroan apabila pemegang saham dirugikan karena tindakan perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan yang wajar. Namun demikian, perlindungan tersebut belum dirasa begitu maksimal bila dibandingkan dengan kebijakan-kebijakan baru dalam kegiatan pasar modal yang cenderung mendelusi keberadaan investor minoritas. Hal tersebut sejalan dengan pendapat menurut La Porta, ia mengatakan bahwa perlindungan investor di negara code law lebih rendah dibandingkan di negara common law.
Namun demikian, terdapat celah yang menjadikan aspek kepastian hukum dalam berusaha dan berinvestasi menjadi tidak begitu pasti karena pranata hukum dalam UUPT yang tidak mengakomodir kepentingan dan perlindungan terhadap hak-hak investor minoritas. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 62 ayat (1) UUPT yang pada intinya mengatur bahwa “setiap pemegang saham berhak meminta kepada Perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar apabila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan Perseroan yang merugikan pemegang saham atau Perseroan,.” Aturan pasal tersebut mengambarkan ketidakberdayaan investor minoritas untuk ikut serta bersuara dan menggunakan haknya dalam menentukan arah kebijakan bisnis perseroan. UUPT justru mengatur cara untuk investor mayoritas/pengendali perseroan agar dapat melakukan aksi korporasi tanpa melalui mekanisme persetujuan RUPS sebagai tempat pengambilan keputusan tertinggi suatu perseroan. Padahal, investor minoritas pun pada dasarnya juga mempunyai hak memiliki dan ikut serta menentukan arah kebijakan maupun aksi korporasi, karena hal tersebut adalah tujuan kepastian usaha bagi setiap investor yang menanamkan modalnya dalam bentuk saham pada suatu perseroan untuk dikelola dan dikembangkan.
Dengan lahirnya Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-614/BL/2011 Tanggal 28 November 2011 tentang Transaksi Material Dan Perubahan Kegiatan Usaha Utama, telah memperlebar celah ketidakpastian hukum dan perlindungan terhadap hak-hak investor minoritas dalam suatu perseroan terbuka yang terdaftar sebagai emiten dalam bursa efek. Bagaiamana tidak, apabila merujuk pada Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK di atas, pada Ketentuan Nomor 2. Tentang Transaksi Material huruf a angka (1) dan (2) yang pada intinya mengatur bahwa Perusahaan yang melakukan Transaksi Material dengan nilai transaksi 20% (dua puluh perseratus) sampai dengan 50% (lima puluh perseratus) dari ekuitas Perusahaan tidak diwajibkan untuk memperoleh persetujuan RUPS, namun wajib mengumumkan informasi mengenai transaksi material. Hal tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas, sebagaimana dijelaskan bahwa “penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan hanya dapat dilakukan dengan persetujuan RUPS”.
Akuisisi Pertagas oleh PGN
Merujuk pada peristiwa akuisisi PT Pertagas oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN), seluruh investor minoritas PGN hanya bisa menjadi penonton dalam proses akuisisi 51% saham Pertagas. Nilai akuisisi tersebut melebihi dari 30% total ekuitas PGN. Namun demikian, nilai transaksi tersebut memang belum mencapai batas maksimal transaksi, yakni 50% dari total ekuitas atau kekayaan perseroan. Sesuai regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang merujuk pada Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-614/BL/2011, maka tranksaksi material dengan nilai transaksi 20% sampai dengan 50% dari total ekuitas/kekayaan perseroan tidak diwajibkan untuk memperoleh persetujuan RUPS. Pada dasarnya, proses akuisisi seperti yang dilakukan PGN adalah hal yang lazim bagi pelaku pasar modal, akan tetapi diera keterbukaan informasi dan kesadaran hukum masyarakat yang semakin meningkat, maka sudah saatnya pemerintah bertindak tegas untuk melindungi para investor minoritas dengan merevisi UUPT dan mencabut aturan-aturan pelaksana yang cacat yuridis dan tidak sesuai dengan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan.
Berangkat dari peristiwa tersebut, maka peran pemerintah dalam menyediakan pranata hukum yang menjamin kepastian hukum bagi investor minoritas perlu dipertanyakan. Melihat peningkatan minat berusaha dan berinvestasi di pasar modal yang semakin hari semakin meningkat, sesuai dengan data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), pada Desember 2015 jumlah investor di pasar modal masih sekitar 434.107 orang, sedangkan pada awal 2018 sudah meningkat menjadi sekitar 635.000 investor. Hal ini menunjukkan pertumbuhan yang menggembirakan hingga mencapai 46 persen. Hal tersebut juga sejalan dengan peningkatan peringkat global Republik Indonesia dalam kemudahan melakukan usaha (ease of doing business), kini pada tahun 2018, Indonesia berada pada peringkat 72 dari 190 negara di dunia. Berdasarkan data dari www.doingbusiness.org peringkat tersebut naik cukup signifikan dari sebelumnya pada tahun 2017 Indonesia meraih peringkat 91. Sedangkan untuk Filtered Rank zona East Asia & Pacific, Indonesia berada pada rangking 9.
Tugas utama hukum itu sendiri adalah untuk mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Gustav Radburch berpendapat bahwa hukum berfungsi sebagai tolok ukur yang bersifat regulative dan konstruktif. Tanpa tujuan hukum, maka produk hukum yang dihasilkan akan kehilangan maknanya. Oleh sebab itu, sudah seharusnya pemerintah menjaga iklim kepastian hukum dalam kegiatan investasi dan pasar modal di Indonesia dengan menciptakan peraturan yang melindungi hak-hak investor minoritas. Dengan demikian iklim usaha dan investasi dalam kegiatan pasar modal akan tetap stabil dan bahkan terus meningkat setiap tahunya.
WI
lebih lengkap silahkan cek di:
Comments